Panca Yajña adalah lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Adapun Panca Yajña atau Panca Maha Yajña tersebut terdiri dari:
1. Dewa Yajña.
Ialah suatu korban suci/ persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh manifestasi- Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat- tempat suci). Korban suci tersebut dilaksanakan pada hari- hari suci, hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun (Pawedalan) ataupun hari- hari raya lainnya seperti: Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain- lain.
2. Pitra Yajña.
lalah suatu korban suci/ persembahan suci yang ditujukan kepada Roh- roh suci dan Leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacāra Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana. Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yajña ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan Yajña. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
1. Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
2. Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
3. Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.
3. Manusa Yajña.
Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia.
Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacāra Yajña ataupun selamatan, di antaranya ialah:
1. Upacāra selamatan (Jatasamskara/ Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru lahir.
2. Upacāra selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur 3 bulan (105 hari).
3. Upacāra selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton/ weton).
4. Upacāra Potong Gigi (Metatah / Mesangih) untuk anak yang naik remaja
5. Upacāra perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala/ Citra Wiwaha/ Widhi-Widhana.
Di dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan- kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan dan kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan lain- lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Juga usaha di dalam memberikan pertolongan dan menghormati sesama manusia mulai dari tata cara menerima tamu (athiti krama), memberikan pertolongan kepada sesama yang sedang menderita (Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah termasuk Manusa Yajña.
4. Rsi Yajña.
Adalah suatu Upacāra Yajña berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang- orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:
1. Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacāra Diksa.
2. Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
3. Menghaturkan/ memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
4. Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
5. Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.
5. Bhuta Yajña.
Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk- makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Adapun pelaksanaan upacāra Bhuta Yajña ini dapat berupa: Upacāra Yajña (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/ alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.
Di dalam pelaksanaan Yajña biasanya seluruh unsur- unsur Panca Yajña telah tercakup di dalamnya, sedangkan penonjolannya tergantung Yajña mana yang diutamakan.
Manusa Yajña
Manusa Yajña dalam konteks ritual seperti di jelaskan diatas, bermacam-macam bentuknya, di antaranya magedong-gedongan, nyambutin, ngotonon, potong gigi, dan upacāra perkawinan. Dalam konteks yang lebih luas manusa Yajña bisa dipahami sebagai bentuk Yajña kepada sesama.
Upacāra Raja Sewala
Di dalam sastra-sastra Hindu disebutkan bahwa bagi orang tua (keluarga) berkewajiban pertama, Ametuaken, melahirkan anak. Ini bertujuan untuk mengisi dan memelihara dunia, melanjutkan garis keturunan, sehingga dunia ini penuh dengan tawa dan tangis. Kedua, Binojana/ membesarkan anaknya yaitu memberikan makanan yang cukup dan penuh gizi seimbang, Ketiga, Mengupadyaya/ mendidik, menyekolahkan, membekali dengan ilmu pengetahuan dan ilmu agama untuk menyosong masa depan, Keempat Matulung Urip/ melindungi atau menjaga kesehatan dan Kelima, Sinangaskara/ memberikan upacāra/ mensucikan jiwanya.Mensucikan jiwa anak, adalah kewajiban bagi orang tua. Umat Hindu dari sejak memasuki gerbang rumah tangga sudah dimulai dengan upacāra, yaitu bayi dalam kandungan baru berumur 5 - 7 bulan namanya upacāra megedong-gedongan atau tujuh bulanan, setelah bayi lahir dibikinkan upacāra nyambutin atau dapetan dan terakhir tugas orang tua adalah mengawinkan anaknya yang telah dewasa.
Ciri-ciri anak telah meningkat dewasa.
Siklus kehidupan makhluk didunia adalah lahir, hidup dan mati (kembali keasalnya). Manusia hidup di dunia mengalami beberapa phase yaitu, phase anak-anak, pada phase ini anak dianggap sebagai raja, semua permintaannya dipenuhi. Phase berikutnya adalah pada masa anak meningkat dewasa. Saat ini anak itu tidak lagi dianggap sebagai raja, tetapi sebagai teman. Orang tua memberikan nasehat kepada anak-anaknya dan anak itu bisa menolak nasehat orang tuanya bila kondisi dan lingkungannya tidak mendukung, artinya terjadi komunikasi timbal balik atau saling melengkapi. Dan yang terakhir adalah phase tua, di sini anak tadi menjadi panutan bagi penerusnya.
Sebagai tanda dari kedewasaan seseorang adalah suaranya mulai membesar /berubah/ngembakin (bahasa Bali) bagi laki-laki dan bagi perempuan pertama kalinya ia mengalami datang bulan. Sejak saat ini seseorang mulai merasakan getar-getar asmara, karena Dewa Asmara mulai menempati lubuk hatinya. Bila perasaan getar-getar asmara ini tidak dibentengi dengan baik akan keluar dari jalur yang sebenarnya.
Perasaan getar-getar asmara itu dibentengi melalui dua jalur yaitu, jalur niskala, membersihkan jiwa anak dengan mengadakan Upacāra yang disebut Raja Sewala dan jalur sekala, dengan memberikan wejangan-wejangan yang bermanfaat bagi dirinya
Upacāra Raja Sewala ini sesuai dengan apa yang diungkapkan didalam Agastya Parwa bahwa, disebutkan ada tiga perbuatan yang dapat menuju sorga, yaitu: Tapa (pengendalian), Yajña (persembahan yang tulus iklas) dan Kirti (perbuatan amal kebajikan) Upacāra Raja Sewala merupakan Yajña (persembahan yang tulus iklas) yang membuat peluang bagi keluarganya untuk masuk sorga.
Nilai pendidikan
Upacāra Raja Sewala/meningkat dewasa yang dilakukan oleh umat Hindu adalah merupakan salah satu jenis Upacāra Manusa Yajña yang bertujuan untuk memohon kehadapan Sanghyang Widhi Waça (Tuhan Yang Maha Esa) dalam menifestasinya sebagai Sang Hyang Semara Ratih, agar orang itu dibimbing, sehingga ia dapat mengendalikan dirinya dalam menghadapi Pancaroba. Pada masa panacaroba ini seseorang sangat rentan terhadap godaan-godaan khususnya godaan dari Sad Ripu yaitu: Kroda (sifat marah), Loba (rakus/tamak), Kama (nafsu/keinginan), Moha (kebingungan), Mada (kemabukan), dan Matsarya (rasa iri hati)
Pada Upacāra ini juga terselip nilai pendidikan. Anak diberikan wejangan-wejangan yang menyatakan bahwa dirinya telah tumbuh dewasa, apapun yang akan diperbuatnya akan berakibat juga kepada orang tuanya. Jadi anak itu tidak bebas begitu saja menerjunkan diri dalam pergaulan dimasyarakat. Dia harus tahu mana yang pantas untuk dilakukan dan mana yang dilarang. Dalam hal ini anak-anak juga merasa mendapat perhatian dari orang tuanya sehingga menimbulkan rasa lebih hormat kepada orang tuanya.
Melalui Upacāra Raja Sewala/Meningkat dewasa ini diharapkan seseorang dapat meningkatkan kesucian pribadinya sehingga mampu memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk.
Upacāra mapandes
Upacāra Yajña potong gigi, atau dalam komunitas Hindu-Bali disebut metatah, mepandes, atau mesangih. Secara fisik, dalam upacāra ini, baik laki-laki maupun perempuan, enam gigi mereka diratakan dengan alat kikir, yaitu dua gigi taring dan empat gigi tengah.
Keenam gigi itu melambangkan Sad Ripu atau enam sifat buruk yang ada dalam diri setiap manusia, yakni nafsu (kama), rakus (loba), marah (kroda), mabuk (mada), bingung (moha), dan dengki (matsarya).
Upacāra mapandes disebut pula matatah, masangih yang dimaksud adalah memotong atau meratakan empat gigi seri dan dua taring kiri dan kanan, pada rahang atas, yang secara simbolik dipahat 3 kali, diasah dan diratakan. Rupanya dari kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari kata masangih tersebut.
Bila kita mengkaji lebih jauh, upacāra Mapandes dengan berbagai istilah atau nama seperti tersebut di atas, merupakan upacāra Śarīra Saṁskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. Di Bali upacāra ini dikelompokkan dalam upacāra Manusa Yajña.
1. Adapun makna yang dikandung dalam upaca mapandes ini adalah:
Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devaṣya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgītā.
2. Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa, karena telah memperoleh kesempatan untuk beryajña, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat manusia.
3. Secara spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia, Ātma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Piṭṛaloka).
Berdasarkan pengertian dan makna upacāra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya. Dalam lontar Pujakalapati dinyatakan, seseorang yang tidak melakukan upacāra Mapandes, tidak akan dapat bertemu dengan roh leluhurnya yang telah suci, demikian pula dalam Ātmaprasangsa dinyatakan roh mereka yang tidak melaksanakan upacāra potong gigi mendapat hukuman dari dewa Yāma (Yāmādhipati) berupa tugas untuk menggit pangkal bambu petung yang keras di alam neraka (Tambragomuka), dan bila kita hubungkan dengan kitab Kālatattwa, Bhatāra Kāla tidak dapat menghadap dewa bila belum keempat gigi seri dan 2 taring rahang bagian atasnya belum dipanggur. Demikian pula dalam kitab Smaradahana, putra Sang Hyang Śiva, yakni Bhatāra Gaṇa, Gaṇeśa atau Gaṇapati belum mampu mengalahkan musuhnya raksasa Nilarudraka, sebelum salah satu taringnya patah.
Upacāra ini merupakan sebagai wujud bhakti seorang tua (ibu-bapa) kepada leluhurnya yang telah menjelma sebagai anaknya, untuk ditumbuh-kembangkan keperibadiannya, diharapkan menjadi putra yang suputra sesuai dengan kitab Nitiśāstra
Adapun tujuan dari upacāra Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati yang mengandung makna penyucian seorang anak saat akil balig menuju ke alam dewasa, sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia. Berdasarkan keterangan dalam lontar Pujakalapati dan juga Ātmaprasangsa, maka upacāra Mapandes mengandung tujuan, sebagai berikut:
1. Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta, Kāla, Pisaca, Raksasa dan Sadripu yang mempengarhui pribadi manusia, di samping secara biologis telah terjadi perubahan karena berfungsi hormon pendorong lebido seksualitas.
2. Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan Bhakti kepada-Nya.
3. Menghindarkan diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu meningkatkan kesucian pribadi.
4. Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yajña dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-benar menjadi seorang putra yang suputra.
Kini timbul pertanyaan, kapankah saat yang tepat untuk melaksanakan upacāra Mapandes? Bila kita memperhatikan berbagai sumber yang tertulis di dalam lontar, seperti lonatr Dharma Kahuripan dan lain-lain, sebenarnya upacāra ini dilakukan saat mulai pubertasnya seorang anak, dan bagi seorang gadis, saat setelah pertama kali mengalami menstruasi. Upacāra ini dapat digabungkan dengan Rajasewala atau Rajasingha bagi seorang gadis atau seorang perjaka.
Dalam kenyataan di kalangan umat Hindu, upacāra Mapandes ini dilakukan bersamaan atau dirangkai dengan upacāra Piṭṛa Yajna terutama Mamukur atau dirangkai sebelum upacāra Pawiwahan (perkawinan), dilakukan secara masal bergabung dengan keluarga besar untuk mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan.
Bagi seseorang yang belum sempat mengikuti upacāra Mapandes, dan maut telah menjemput, berbagai tanggapan muncul, yakni apakah perlu upacāra bagi seseorang yang telah meninggal. Terhadap keadaan ini, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, melalui keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu memberikan jalan ke luar, sebagai berikut:
1. Mapandes adalah upacāra Manusa Yajña (Śarīra Saṁsakara) yang patut dilaksanakan pada saat seseorang masih hidup (sangat baik ketika remaja, belum berumah tangga). Mapandes bagi orang yang telah meninggal sesungguhnya tidak perlu dilakukan.
2. Bila orang tua yang bersangkutan merasa masih punya hutang berupa kewajiban, dapat menempuhnya dengan upacāra simbolis, dengan kikir (panggur) dari bunga teratai, dilengkapi dengan andel-andel serta padi, seakan-akan yang bersangutan bermimpi diupacārakan Mapandes.
3. Dengan demikian orang tua terbebas dari hutang kewajiban kepada anaknya, sehingga roh anaknya diharapkan dapat bersatu dengan roh leluhur yang telah disucikan.
Berdasarkan rangkaian upacāra Mapandes yang dilaksanakan, maka makna yang dikandung dari rangkaian upacāra tersebut adalah sebagai berikut:
a. Magumi Padangan. Upacāra ini disebut juga Masakapan Kapawon dan dilaksanakan di dapur, mengandung makna bahwa tugas pertama seseorang yang sudah dewasa dan siap berumah tangga adalah mengurus masalah dapur (logistik). Seseorang diminta bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup keluarga di kemudian hari, melalui permohonan waranugraha dari Sang Hyang Agni (Brahma) yang disimboliskan bersthana di dapur.
b. Ngekeb. Upacāra ini dilakukan di meten atau di gedong, mengandung makna pelaksanaan Brata, yakni janji untuk mengendalikan diri dari berbagai dorongan dan godaan nafsu, terutama dorongan negatif yang disimboliskan dengan Sadripu, yakni enam musuh pada diri pribadi manusia berupa loba, emosi, nafsu seks dan sebagainya.
c. Mabhyakāla. Upacāra ini dilakukan di halaman rumah, di depan meten atau gedong, mengandung makna membersihkan diri pribadi dari unsur-unsur Bhūtakāla, yakni sifat jahat yang muncul dari dalam maupun karena pengaruh dari luar (lingkungan pergaulan). Upacāra ini juga disebut Mabhyakawon yang artinya melenyap kotoran batin dan di India disebut Prayascitta, menyucikan diri pribadi.
d. Persaksian dan persembahyangan ke Pamarajan. Upacāra ini mengandung makna untuk:
a) Memohon wara nugraha Hyang Guru dan leluhur (kawitan) bahwa pada hari itu keluarga yang bersangkutan menyelenggarakan upacāra potong gigi.
b) Menyembah ibu-bapa, sebagai perwujudan dan kelanjutan tradisi Veda, seorang anak wajib bersujud kepada orang tuanya, karena orang tua juga merupakan perwujudan dewata (matri devobhava, pitridevobhava), juga sebagai wujud bhakti kepada Sang Hyang Uma dan Śiva, sebagai ibu-bapa yang tertinggi dan yang sejati.
c) Ngayab Caru Ayam Putih, simbolis sifat keraksasaan dinetralkan dan berkembangnya sifat-sifat kedewataan.
d) Memohon Tirtha, sebagai simbolis memohon kesejahtraan, kabahagiaan dan keabadiaan.
e) Ngrajah gigi, menulis gigi dengan aksara suci simbolis sesungguhnya Hyang Widhilah yang membimbing kehidupan ini melalui ajaran suci yang diturunkan-Nya, sehingga prilaku umat manusia menjadi suci, lahir dan batin.
f) Pemahatan taring, simbolis Sang Hyang Widhi Śiva) yang telah menganugrahkan kelancaran upacāra ini seperti simbolik Sang Hyang Śiva memotong taring putra-Nya, yakni Bhatāra Kāla.
e. Upacāra di tempat (bale) Mapandes. Setelah selesai upacāra di pamarajan, maka remaja yang mengikuti upacāra Mapandes kembali ke gedong untuk selanjutnya menuju tempat upacāra Mapandes dilaksanakan, adapun rangkaian dan makna upacāra yang dikandung adalah sebagai berikut:
1) Menyembah dewa Sūrya untuk mempermaklumkan sekaligus memohon persaksian-Nya.
2) Menyembah Bhatāra Smāra dan Bhatārì Ratih, agar senantiasa dimbimbing ke jalan yang benar, sekaligus memohon benih yang terkandung dalam diri masing-masing (sukla-svanita), jangan sampai ternoda hingga kehidupan berumah tangga melalui perkawinan di kemudian hari.
3) Memohon Tirtha kepada Bhatāra Smāra dan Bhatārì Ratih, sebagai simbol telah mendapat restu dan perkenan-Nya.
4) Ngayab Banten Pangawak Bale Gading, untuk memohon kekuatan lahir dan batin, karena masa pubertas penuh dengan tantantangan hidup termasuk dorongan nafsu yang jahat.
5) Mepandes, yakni dilaksanakannya upacāra panggur oleh sangging, guna menyucikan diri pribadi dari gangguan Sadripu.
6) Menginjak banten paningkeb, mengandung makna selesainya upacāra Mapendes, dengan Sadripu dan Catur Sanak telah memperoleh penyucian.
7) Menikmati Sirih-lekesan, simbolis kehidupan baru telah dimulai dengan bermacam kenikmatan hidup dan tantangan, dan Sang Hyang Śiva beserta Pañca Dewata senantiasa akan melindunginya.
8) Kembali ke tempat Ngekeb, mengandung makna kembali melakukan tapa brata, menyucian diri, lahir dan batin.
9) Mejaya-jaya, yakni mengikuti upacāra yang dipimpin oleh Pandita (Sulinggih) berupa pemercikkan Tìrtha, yang mengandung makna yang bersangkutan telah dan senantiasa akan memperoleh kemenangan dalam menghadapi godaan dan dorongan untuk berbuat jahat.
10) Mapinton. Upacāra ini mengandung makna mempermaklumkan kehadapan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, bahwa yang bersangkutan telah melaksanakan upacāra Mapandes dan senantiasa memohon bimbingan dan perlindungan-Nya.
Demikianlah sepintas makna yang terkandung dari rangkaian upacāra Mapandes, yang tidak lain guna membimbing umat manusia lebih meningkatkan Śraddhā dan Bhaktinya kepada Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur.
Tanggung Jawab Orang Tua Dan Keluarga
Upacāra Mapandes adalah merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) untuk menyelenggarakannya, dan bila kita kaji secara seksama, seorang anak sesungguhnya adalah pula leluhur kita yang menjelma untuk meningkatkan kualitas kehidupannya (lahir dan batin) yang pada akhirnya dapat mengantarkannya guna mewujudkan Jagadhita (kesejahtraan dan kebahagian hidup di dunia ini) dan Mokṣa (bersatunya Ātman dengan Paramātman).
Dalam melakukan Yajña ini, landasan yang paling mendasar bagi Sang Yajamana (yang melaksanakan atau yang memiliki upacāra itu), Sang Amancagra (tukang bebanten dan sangging), dan Sang Pandita (yang memimpin dan menyelesaikan upacāra) adalah ketulusan hati. Ketulusan ini patut pula diikuti oleh para Athiti tamu undangan) guna Yajña tersebut berhasil Śiddhakarya.
Untuk mengembangkan ketulusan hati, utamanya Sang Yajamana bersama keluarga hendaknya dapat melakukan berbagai Brata, seperti Upavaśa (mengendalikan diri untuk tidak menikmati makanan) pada saat puncak upacāra berlangsung, dan senantiasa memusatkan pikiran kehadapan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur untuk keberhasilan dari Yajña yang diselenggarakan.
Upakāra Mepandes / Metatah/ Potong Gigi/ Panggur
Arti
Upacāra ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada diri si anak.
Sarana
1 Sajen sorohan dan suci untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
2 Sajen pabhyakalan prayascita, panglukatan, alat untuk memotong gigi beserta perlengkapannya seperti: cermin, alat pengasah gigi, kain untuk rurub serta sebuah cincin dan permata, tempat tidur yang sudah dihias.
3 Sajen peras daksina, ajuman dan canang sari, kelapa gading dan sebuah bokor.
4 Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu dadap. Belakangan dipakai tebu, supaya lebih enak rasanya.
5 Pengurip-urip yang terdiri dari kunir serta pecanangan lengkap dengan isinya.
Waktu
Upacāra ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah berumah tangga.
Tempat
Seluruh rangkaian upacāra potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pernerajan.
Pelaksana
Upacāra potong gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita ‘dan dibantu oieh
seorang sangging (sebagai pelaksana langsung).
Tata cara
1 Yang diupacārai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2 Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.
3 Selanjutnya naik ke tempat upacāra menghadap ke hulu. Pelaksana upacāra mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirtha pesangihan.
4 Upacāra dilanjutkan oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.
5 Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6 Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kernudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.
Mantram-mantramnya
1. Mantram prayascita dan bhyakala.
Om Hrim, Srim, Mam, Sam, Warn, Sarwa rogha satru winasa ya hrah phat.
Om Hrim. Srim. Am. Tam. Sam. Bam. Im, sarwa danda mala papa klesa, winasaya hrah, hum, phat.
Om Hrim, Srim, Am, Um, Mam, Sarwa papa petaka winasaya hrah, hum phat,
Om Siddhir guru shrom, Sarwasat.
Om sarwa wighna winasaya, sarwa papa winasaya namah swaha.
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa, semoga semua musuh yang berupa penderitaan, kesengsaraan, bencana dan lain-lain menjadi sirna.
2. Mantram mohon persaksian.
Om adityasya parantyotih rakta tejo nama stute, sweta pangkaja mandhyasta Bhaskara ya namostute, Om pranamya bhaskara dewam, sarwa klesa winasanam, pranamya aditya siwartham bhukti mukti warapradam.
Om hrang hring sah paramasiva adityaya namah swaha.
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa, semoga hamba mendapat perkenanMu, untuk melalui tahapan hidup ini dalam jalanMu dengan pertolongan hanya dariMu.
Om dimulyakanlah Engkau ya Tuhan.
3. Mantram alat pengasah.
Om Sang perigi manik, aja sira geger lunga antinen kakang nira sang kanaka
teka pageh, tan katekaning lara wigena,
teka awet, awet, awet.
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa, semoga alat-alat ini dapat memberikan kekuatan.
4. Mantram pengurip-urip.
Om urip-urip bayu, sabda idep teka urip, ang, ah.
Artinya:
Om Sang Hyang Widhi Wasa, dalam wujud Brahma Maha Sakti, semoga tenaga, ucapan dan pikiran hamba memberikan kekuatan terhadap alat-alat ini.